Kamis, 17 Februari 2011

Oase di hamparan sahara (sepenggal cerita, mei 2008)

Aku adalah seorang mahasiswa semester 6, berasal dari pinggiran kota bogor, tinggi sekitar 168cm, berat hanya 58 kg, rambut kriting, kulit sawo matang, wajah lumayan tampan itu menurut ibuku, paling suka mengenakan jeans belel dan tas slempang dengan tambalan disana-sini,tak lupa sepatu kets merek dragon fly yang ujungnya bolong terkadang jempol kakiku sering menerobos keluar, ya sepatu itulah yang menjadi penutup kaki di setiap aktifitasku diperkuliahan maupun organisasi. Menurut teman-teman, waajahku selalu terlihat sayu namun sebenarnya bersemangat, seperti orang bingung namun berpengetahuan, dan selalu santai ketika menghadapi berbagai masalah. Aku aktif di BEM universitas, sehingga pergaulanku lumayan luas dan organisasi pula yang menyita banyak dari 24 jam, memegang teguh idealisme dan memegang erat sumpah setia terhadap bangsa dan rakyat Indonesia merupakan sebuah kewajiban. InsyaAllah…

“sebuah catatan kecil di bulan mei 2008”
-kamis, 8 mei 2008-
“Hidup Mahasiswa! Hdup Rakyat Indonesia!” suara itu bergema dari ribuan demonstran di setiap penjuru, seluruh mahasiswa meneriakkan kalimat tersebut dengan lantang, Tiba-tiba terdengar desingan peluru memecah barisan mahasiswa, mereka berlarian menghindari peluru yang entah berasal dari mana, seiring dengan suara desingan peluru terlihat beberapa mahasiswa tergeletak di jalan-jalan, entah pingsan atau meninggal, terinjak-injak atau bahkan terkena peluru nyasar dari aparat. Disudut lain tidak kalah jumlah polisi dengan senjata lengkap mulai menghalau mahasiswa dari berbagai arah, di bentengi dengan dua buah mobil water canon polisi mulai merangsek masuk barisan mahasiswa yang sudah semakin tidak terkoordinir, aku bersama Bondan berdiri dekat tembok besar sambil mencari teman-teman lainnya, Bondan adalah temanku, kami sama-sama tinggal di pesantren khusus mahasiswa, satu kamar pula jadi kami sangat dekat.

Tiba-tiba sebuah pentungan melayang kearah kepalaku dan aku tersungkur jatuh kedalam parit disisi jalan raya, Bondan menarik lenganku sambil berteriak “Ayo bangun! Bangun!” aku sudah tidak kuat untuk bangun, sambil tergopoh dengan tenaga yang tersisa aku mulai bangkit dan terbangun dari parit namun terlihat dari arah belakang Bondan ada aparat yang mendekat sambil membawa pentungan dengan posisi hendak memukul, dan akhirnya dalam hitungan detik Bondan pun roboh dan jatuh bersamaku dengan posisi menindihku. Gedubraak!!! “Ayoo baanguuunn!!!” terngiang-ngiang dikepala, “Baangguuuunnn!!!” kembali suara itu terdengar, namun kali ini samar-samar terdengar suara pintu yang diketuk keras, “Banguuunnn!!! Baanguuuunnn!!! Shollu! Shollu!” suara itu semakin lama semakin jelas terdengar di telinga,dan akupun akhirnya mulai tersadar, membuka sedikit demi sedikit kelopak mata, “Alhamdulillaaah..” ucapku, ternyata tadi hanyalah mimpi. Tak berapa lama akupun dikagetkan kembali dengan suara teriakan dari luar kamar “Bruk..bruk..bruk.. kalian ini begadang lagi ya?saya tau kalian di dalam!! Banguun!! cepaat baanguun!!!” aku semakin yakin, ini suara ustadz yang biasa aku dengar setiap shubuh, “Bon..Bondan bangun” aku goyang-goyangkan kepalanya, Bondan masih asyik menyelimuti seluruh badannya dengan kain bergaris hitam putih, mirip baju tahanan di film-film zaman dulu. “Bon..banguun..” sulit sekali dia bangun, semalam Bondan memang pulang larut. dan mungkin semalam dia terlalu letih dengan aktivitas organisasinya sehingga ketika pulang dia langsung tidur dan sudah tidak memperhatikan posisi tidurnya, dia tidur dengan posisi kepala persis dibelakang pintu kamar. Gebruk! Suara pintu dibuka paksa dari luar yang membentur kepala Bondan, akhirnya dia bangun juga, Bondan biasa tidur di atas kasur lipat yang dia gelar di lantai. Kami berdua langsung berdiri dengan wajah tertunduk, Bondan masih menguap dengan tangan kiri mengucek-ngucek matanya dan tangan kanan mengusap-ngusap kepalanya karena terbentur pintu tadi, “kenapa lagi-lagi kalian yang paling telat bangun? santri lain sudah siap-siap dimasjid! sudah kiamul lail! cepat solat shubuh!” marah ustdz, “baik ustadz..” saut kami berdua kompak. Seperti itulah rutinitas kami ketika subuh menjelang, dan paginya kami langsung membetulkan kunci slot kamar yang subuh nanti bakal dirusak kembali.

Kamis 8 mei 2008

Hari ini ada aksi demonstrasi dengan agenda yang tidak jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus KKN, penjualan aset-aset negara dan dua agenda khusus yaitu mengangkat isu tragedy 10 tahun silam yang akan kami peringati beberapa hari kedepan tanggal 12 mei dan peringatan 100 tahun kebangkitan pemuda tanggal 20 mei. Kebetulan hari ini jadwal praktikum ditiadakan sehingga aku tidak perlu bolos untuk ikut demonstrasi.

Pada aksi kali ini aku menjadi bagian teatrikal mahasiswa, peranku sebagai seorang petani miskin akibat kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Wajahku dibuat kusut lengkap dengan atribut petani seperti cangkul, blangkon, caping dan baju lusuh ala petani.

Sekitar pukul 10 pagi kami tiba di bundaran HI, rombongan kami ada sekitar tujuh bis, disana telah berkumpul mahasiswa dari berbagai universitas yang lebih dahulu tiba, agenda kami yaitu melakukan longmarch menuju gedung MPR/DPR. Aku bergabung dengan teman-teman tim teatrikal dari beberapa universitas lainnya. Setelah selesai koordinasi lalu kami mulai melakukan longmarch menuju gedung wakil rakyat dengan tim teatrikal sebagai mascot di garis depan. Kami mengeluarkan seluruh bakat acting yang dimiliki secara otodidak, entah terlihat bagus atau tidak yang pasti kami sudah mengeluarkan seluruh kemampuan acting yang dimiliki, peran orang gila, pengemis, petani yang kurus kering dan lemah, bahkan ada juga yang pantomim. Diantara rombongan itu terselip wajah polos Bondan yang bergaya seperti orang gila, dan aku berperan sebagai petani miskin dan kelaparan. Sepanjang jalan kami menjadi sorotan seluruh wartawan, berpose seperti apapun puluhan kamera tanpa permisi langsung mengambil gambar kami, hingga tak tau lagi akan bergaya seperti apa karena kami bukanlah fotomodel, namun dengan posisi diam karena kelelahanpun tetap saja gambar kami diambil, “mas cangkulnya dipegang kayak gini” sambil memeragakannya, celoteh seorang wartawan yang tak henti-hentinya memotret kami. Tak apa-apalah kalau bukan sekarang kapan lagi serasa mirip fotomodel begini.

Setelah berjalan cukup lama, seejenak kami beristirahat di dekat stasiun Gambir, aku, Bondan dan niken memilih duduk di bawah pohon dekat trotoar kami bertiga sebagai tim teatrikal dari satu kampus yang sama, niken adalah teman kami di BEM, wanita berjilbab ini orangnya selalu ceria, tubuhnya tidak terlalu tinggi, kami sering memanggilnya dengan sebutan bola bekel, tapi dia tak pernah marah dengan panggilan itu, dia hanya menanggapinya dengan mencopot sepatu dan diberikan kepada kami dengan cara dilempar, kami tidak akan bertegur sapa selama dua hari, dan mulai seperti biasa dihari ketiga, karena menurutnya tidak saling bertegur sapa sampai tiga hari bahkan lebih itu termasuk dosa, jadi cukup dua hari saja.

Ketika kami ngobrol ada seorang mahasiswi berkacamata menghampiri kami, ia mengenakan jeans dan kerudung abu-abu sambil menggendong tas warna krem, ia berkata “ayo senyum tim teatrikal, cheers” sambil membidik kameranya kearah kami, bondan langsung bergaya bak fotomodel, tak ingin kalah dengan bondan, aku dan niken langsung berpose imut-imut. Gadis itu tersenyum dan memotret kami untuk yang kedua kali. “semangat yaa…” ia berkata sambil berjalan menjauhi kami, tak lupa sebelum memalingkan wajahnya ia berikan senyuman indah sekali lagi. “semangat..!” ucap Bondan dan niken, “cantiknyaa..terimakasih tuhan” sayup-sayup terdengar dari mulutku. “Apaan?” penasaran Bondan, “apanya yang apaan?” sergah ku. “barusan kamu ngomong apa?” selidiknya. Tiba-tiba niken bergabung “nih minum dulu, sebentar lagi kita lanjut sob”. “Ok!” sahutku dan Bondan kompak. Hmm… aku bertanya-tanya dalam hati "Siapakah gerangan gadis tadi, dia mengenakan almamater yang sama dengan kampusku"
continued....

1 komentar: