Kamis, 17 Februari 2011

Oase di hamparan sahara (sepenggal cerita, mei 2008)

Aku adalah seorang mahasiswa semester 6, berasal dari pinggiran kota bogor, tinggi sekitar 168cm, berat hanya 58 kg, rambut kriting, kulit sawo matang, wajah lumayan tampan itu menurut ibuku, paling suka mengenakan jeans belel dan tas slempang dengan tambalan disana-sini,tak lupa sepatu kets merek dragon fly yang ujungnya bolong terkadang jempol kakiku sering menerobos keluar, ya sepatu itulah yang menjadi penutup kaki di setiap aktifitasku diperkuliahan maupun organisasi. Menurut teman-teman, waajahku selalu terlihat sayu namun sebenarnya bersemangat, seperti orang bingung namun berpengetahuan, dan selalu santai ketika menghadapi berbagai masalah. Aku aktif di BEM universitas, sehingga pergaulanku lumayan luas dan organisasi pula yang menyita banyak dari 24 jam, memegang teguh idealisme dan memegang erat sumpah setia terhadap bangsa dan rakyat Indonesia merupakan sebuah kewajiban. InsyaAllah…

“sebuah catatan kecil di bulan mei 2008”
-kamis, 8 mei 2008-
“Hidup Mahasiswa! Hdup Rakyat Indonesia!” suara itu bergema dari ribuan demonstran di setiap penjuru, seluruh mahasiswa meneriakkan kalimat tersebut dengan lantang, Tiba-tiba terdengar desingan peluru memecah barisan mahasiswa, mereka berlarian menghindari peluru yang entah berasal dari mana, seiring dengan suara desingan peluru terlihat beberapa mahasiswa tergeletak di jalan-jalan, entah pingsan atau meninggal, terinjak-injak atau bahkan terkena peluru nyasar dari aparat. Disudut lain tidak kalah jumlah polisi dengan senjata lengkap mulai menghalau mahasiswa dari berbagai arah, di bentengi dengan dua buah mobil water canon polisi mulai merangsek masuk barisan mahasiswa yang sudah semakin tidak terkoordinir, aku bersama Bondan berdiri dekat tembok besar sambil mencari teman-teman lainnya, Bondan adalah temanku, kami sama-sama tinggal di pesantren khusus mahasiswa, satu kamar pula jadi kami sangat dekat.

Tiba-tiba sebuah pentungan melayang kearah kepalaku dan aku tersungkur jatuh kedalam parit disisi jalan raya, Bondan menarik lenganku sambil berteriak “Ayo bangun! Bangun!” aku sudah tidak kuat untuk bangun, sambil tergopoh dengan tenaga yang tersisa aku mulai bangkit dan terbangun dari parit namun terlihat dari arah belakang Bondan ada aparat yang mendekat sambil membawa pentungan dengan posisi hendak memukul, dan akhirnya dalam hitungan detik Bondan pun roboh dan jatuh bersamaku dengan posisi menindihku. Gedubraak!!! “Ayoo baanguuunn!!!” terngiang-ngiang dikepala, “Baangguuuunnn!!!” kembali suara itu terdengar, namun kali ini samar-samar terdengar suara pintu yang diketuk keras, “Banguuunnn!!! Baanguuuunnn!!! Shollu! Shollu!” suara itu semakin lama semakin jelas terdengar di telinga,dan akupun akhirnya mulai tersadar, membuka sedikit demi sedikit kelopak mata, “Alhamdulillaaah..” ucapku, ternyata tadi hanyalah mimpi. Tak berapa lama akupun dikagetkan kembali dengan suara teriakan dari luar kamar “Bruk..bruk..bruk.. kalian ini begadang lagi ya?saya tau kalian di dalam!! Banguun!! cepaat baanguun!!!” aku semakin yakin, ini suara ustadz yang biasa aku dengar setiap shubuh, “Bon..Bondan bangun” aku goyang-goyangkan kepalanya, Bondan masih asyik menyelimuti seluruh badannya dengan kain bergaris hitam putih, mirip baju tahanan di film-film zaman dulu. “Bon..banguun..” sulit sekali dia bangun, semalam Bondan memang pulang larut. dan mungkin semalam dia terlalu letih dengan aktivitas organisasinya sehingga ketika pulang dia langsung tidur dan sudah tidak memperhatikan posisi tidurnya, dia tidur dengan posisi kepala persis dibelakang pintu kamar. Gebruk! Suara pintu dibuka paksa dari luar yang membentur kepala Bondan, akhirnya dia bangun juga, Bondan biasa tidur di atas kasur lipat yang dia gelar di lantai. Kami berdua langsung berdiri dengan wajah tertunduk, Bondan masih menguap dengan tangan kiri mengucek-ngucek matanya dan tangan kanan mengusap-ngusap kepalanya karena terbentur pintu tadi, “kenapa lagi-lagi kalian yang paling telat bangun? santri lain sudah siap-siap dimasjid! sudah kiamul lail! cepat solat shubuh!” marah ustdz, “baik ustadz..” saut kami berdua kompak. Seperti itulah rutinitas kami ketika subuh menjelang, dan paginya kami langsung membetulkan kunci slot kamar yang subuh nanti bakal dirusak kembali.

Kamis 8 mei 2008

Hari ini ada aksi demonstrasi dengan agenda yang tidak jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus KKN, penjualan aset-aset negara dan dua agenda khusus yaitu mengangkat isu tragedy 10 tahun silam yang akan kami peringati beberapa hari kedepan tanggal 12 mei dan peringatan 100 tahun kebangkitan pemuda tanggal 20 mei. Kebetulan hari ini jadwal praktikum ditiadakan sehingga aku tidak perlu bolos untuk ikut demonstrasi.

Pada aksi kali ini aku menjadi bagian teatrikal mahasiswa, peranku sebagai seorang petani miskin akibat kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Wajahku dibuat kusut lengkap dengan atribut petani seperti cangkul, blangkon, caping dan baju lusuh ala petani.

Sekitar pukul 10 pagi kami tiba di bundaran HI, rombongan kami ada sekitar tujuh bis, disana telah berkumpul mahasiswa dari berbagai universitas yang lebih dahulu tiba, agenda kami yaitu melakukan longmarch menuju gedung MPR/DPR. Aku bergabung dengan teman-teman tim teatrikal dari beberapa universitas lainnya. Setelah selesai koordinasi lalu kami mulai melakukan longmarch menuju gedung wakil rakyat dengan tim teatrikal sebagai mascot di garis depan. Kami mengeluarkan seluruh bakat acting yang dimiliki secara otodidak, entah terlihat bagus atau tidak yang pasti kami sudah mengeluarkan seluruh kemampuan acting yang dimiliki, peran orang gila, pengemis, petani yang kurus kering dan lemah, bahkan ada juga yang pantomim. Diantara rombongan itu terselip wajah polos Bondan yang bergaya seperti orang gila, dan aku berperan sebagai petani miskin dan kelaparan. Sepanjang jalan kami menjadi sorotan seluruh wartawan, berpose seperti apapun puluhan kamera tanpa permisi langsung mengambil gambar kami, hingga tak tau lagi akan bergaya seperti apa karena kami bukanlah fotomodel, namun dengan posisi diam karena kelelahanpun tetap saja gambar kami diambil, “mas cangkulnya dipegang kayak gini” sambil memeragakannya, celoteh seorang wartawan yang tak henti-hentinya memotret kami. Tak apa-apalah kalau bukan sekarang kapan lagi serasa mirip fotomodel begini.

Setelah berjalan cukup lama, seejenak kami beristirahat di dekat stasiun Gambir, aku, Bondan dan niken memilih duduk di bawah pohon dekat trotoar kami bertiga sebagai tim teatrikal dari satu kampus yang sama, niken adalah teman kami di BEM, wanita berjilbab ini orangnya selalu ceria, tubuhnya tidak terlalu tinggi, kami sering memanggilnya dengan sebutan bola bekel, tapi dia tak pernah marah dengan panggilan itu, dia hanya menanggapinya dengan mencopot sepatu dan diberikan kepada kami dengan cara dilempar, kami tidak akan bertegur sapa selama dua hari, dan mulai seperti biasa dihari ketiga, karena menurutnya tidak saling bertegur sapa sampai tiga hari bahkan lebih itu termasuk dosa, jadi cukup dua hari saja.

Ketika kami ngobrol ada seorang mahasiswi berkacamata menghampiri kami, ia mengenakan jeans dan kerudung abu-abu sambil menggendong tas warna krem, ia berkata “ayo senyum tim teatrikal, cheers” sambil membidik kameranya kearah kami, bondan langsung bergaya bak fotomodel, tak ingin kalah dengan bondan, aku dan niken langsung berpose imut-imut. Gadis itu tersenyum dan memotret kami untuk yang kedua kali. “semangat yaa…” ia berkata sambil berjalan menjauhi kami, tak lupa sebelum memalingkan wajahnya ia berikan senyuman indah sekali lagi. “semangat..!” ucap Bondan dan niken, “cantiknyaa..terimakasih tuhan” sayup-sayup terdengar dari mulutku. “Apaan?” penasaran Bondan, “apanya yang apaan?” sergah ku. “barusan kamu ngomong apa?” selidiknya. Tiba-tiba niken bergabung “nih minum dulu, sebentar lagi kita lanjut sob”. “Ok!” sahutku dan Bondan kompak. Hmm… aku bertanya-tanya dalam hati "Siapakah gerangan gadis tadi, dia mengenakan almamater yang sama dengan kampusku"
continued....

Fluktuasi Rasa

Terdiam terpaku tanpa berita, aku berdiri disudut yang tak seorangpun menduga bahkan ingat pun tidak akan tempat seperti itu. Dibuai mimpi yang tak berguna, disudutkan pemikiran-pemikiran sendiri, kelemahan yang tak kunjung pergi, terlena selimut kenyamanan semu yang ia sendiri seolah-olah enggan untuk mengetahuinya.

Aku bukanlah orang baik namun aku berusaha untuk selalu menjadi orang baik meski sulit tetap aku percaya bahwa kelak orang-orang akan memandangku sebagai orang yang baik. Selama masih berusaha aku yakin hal itu masih mungkin tercapai. Seperti halnya saat aku berubah menjadi orang yang menyebalkan, lebih mudah membuat orang tidak percaya dibanding percaya, lebih mudah membuat orang benci dibanding cinta, lebih mudah membuat orang sedih dibanding tertawa. Tetapi semua itu bukanlah tidak mungkin. Aku hanya memiliki tekad, tekad yang selama ini bersemayam di dada, yang selama ini menjadi alasan untukku berdiri hingga sekarang.

Tak terpikir sekalipun aku menjadi seseorang yang penuh dengan kemunafikan, kebencian, kemerosotan moral dan akhlak, dunia begitu sempit saat aku hanya berdiri di satu tempat, dari itulah aku melangkah, karena aku tahu dunia begitu luas, tak ada yang tahu kapan kesempatan akan datang tapi saat ia datang akan aku ambil, aku gigit dengan gigi gerahamku bila perlu hingga ia tak bisa lari lagi, entah kapan ia kan kembali dengan rasa dan situasi yang sama.

Aku ingin melompat hingga tergeletak diantara panasnya gurun pasir, aku ingin berlari hingga merangkak diantara dinginnya badai salju, aku ingin berlayar mengarungi lautan yang saat inipun aku tak tahu dimana, dunia itu luas karena itu aku ingin melejit bak rudal saat ditembakkan, menukik bak elang saat melihat mangsa, aku ingin seperti itu.

Tuhanku, Engkau ciptakan begitu banyak perbedaan di muka bumi, namun aku tak tahu dimana letak posisiku saat ini, hanya ingin berprasangka baik saja Tuhan, aku adalah bagian dari orang-orang baik yang dirindukan sesama.

Rabu, 09 Februari 2011

sebuah catatan (maunya jadi tulisan utuh, yah maunya yg mboten-mboten aja)

“Persetan dengan semuanya, bedebah kalian, murkaku menghujam setiap pori2, merangsek merobek setiap lembaran kulit, menusuk menembus menggetarkan dan meretakkan tulang belulang! Galau ku meremas jantung dan membuncahkan darah hitam hatimu! Bagai dihujani ribuan jarum yang siap menembus ulu hati! Aaarrgghhh… teriakan sekeras mungkin kebencian merasuk raga belantara hutan imajinasi! Persetan kaliaaan!!! Aku berlari dan memaki, aku mencaci lalu sembunyi. Aaarghh, marahku telah sampai ujung bibir, bergejolak dan bertahan hingga titik nadir! Benciku membeset kulit membetot nadi dan menyentuh dasar hati!

Dan matilah aku dalam kegetiran…”


Kenapa sulit kendalikan hati ini, ingin rasanya melampiaskan semua amarah yang membakar dada sedari dulu, ada apa ini? marah sedangkan tak tahu apa sebabnya, aarrgghh, cinta itu sampah! Cinta itu konyol! Cinta itu bedebah! Cinta itu bodoh! Cinta itu penyakit! Dan cinta itu sakit jiwa!

Diawali dengan kalimat sumpah serapah, semenjak siang ini rasanya dibayangi jutaan kebencian yang ada disekitar tubuhku, auranya hanya tersisa yang negative, terkadang bingung ingin mengeluarkan seluruh amarah tetapi sulit untuk terlampiaskan, yang ada hanya diam dan terkadang orang sekitar yang menjadi sasaran,

Mungkin awal permasalahan bermula ketika gagalnya sebuah rencana, lebih tepat imajinasi yang telah lama dan sempat akan terealisasi namun kandas begitu saja, dan semua itu selalu saja berkorelasi dengan sebuah kata yang memang menjadi bahan masalah buatku akhir-akhir ini. “cinta”.

Dea, nama itu yang selalu hadir disetiap tarikan napas dan denyutan nadiku. Aku lupa pastinya kapan mulai menyukai gadis ini, rasa itu tiba-tiba sudah bersemi, entah siapa yang mengijinkan rasa itu hadir namun yang ku tahu perasaan itu sudah tumbuh subur di dalam hati, jika ditanya kenapa aku menyukai Dea, ooh… sampe sekarang akupun tak pernah tahu akan hal itu, pertanyaan yang sangat sulit buatku, mungkin karena Dea adalah sosok gadis yang tegas, tegar, berani, ceria dan akupun bingung,hahaha… tetapi bukan itu alasanku menyukainya, entah mengapa Dea menjadi sosok yang sangat penting dan berarti buatku, dan semenjak itu, aku selalu canggung jika berhadapan dengannya, tak pernah sekalipun bersikap wajar dihadapannya, malah terkadang menurut teman-teman raut wajahku terlihat ketus di depan Dea. Aku bener-bener tak tahu kenapa seperti ini, serasa ada gempa tektonik lokal jika di dekatnya.

Aku selalu gugup jika bersamanya meskipun Dea sedikitpun tak pernah menyadari hal itu, menyadari akan keberadaanku. Aku selalu ingat moment-moment yang menurutku penting saat bersamanya meski di kamusku tak ada category selain “penting” jika menyangkut Dea dan mungkin ia juga tak menyadari hal itu. Aku adalah orang yang pelupa, terkadang jika aku menaruh sebuah benda di suatu tempat, lima menit kemudian benda itu bisa raib dengan sukses dari ingatanku, tapi lain halnya ingatanku terhadap Dea. Mungkin space daya ingatku terserap hanya pada satu objek saja, ya sepertinya begitu.Dealah satu-satunya objek itu,

Aku masih ingat setiap detik saat aku bersamanya, mungkin bagi Dea itu hal yang biasa saja namun sebaliknya, bagiku juataan kali lipat lebih berarti, aku selalu mendokumentasikan semua moment bersamanya dalam sebuah buku catatan, buku catatan yang selalu kubawa kemana aku pergi,

Aku pandangi buku catatan yang sudah kusam ini, yang senantiasa setia menemaniku, perlahan aku buka lembar demi lembar, yups, mataku tertuju pada satu buah catatan.


Bogor, 11 desember 2008, sehabis hujan ringan jam 19.25

She makes me blublublub…


Hari itu seperti biasa gw berangkat kuliah dari kosan. jadwal kuliah hari itu ialah Teori Makroekonomi tau sendiri kan bang note, tempat jauh bener, bikin males kalo jalan kaki, itu lho di lantai 5 diruangan yang paling ujung banget.

Bang note kan tau kalo Gw biasa berangkat 30 menit sebelum kuliah dimulai. Nah, untuk menuju kesana gw lewat rute melalui taman kampus, soalnya biar enak aja pagi-pagi lewat taman, betul ga bang note? Nah tadi pas ditengah perjalanan gw ketemu sama temen gw, jenis kelaminnya cewe bang, ketemu di deket jalan menuju taman, tapi gw lupa namanya siapa, ntar bang note pengen kenalan lagi..hehe, bacanda.

Tau ga bang note, tadi dari kejauhan gw liat ada seorang gadis yang lagi duduk di taman, meskipun dari kejauhan tapi gw yakin dengan seyakin2nya kalo gadis itu adalah Dea, siapa lagi kalo bukan gadis yang gw suka, jangan pura-pura ga tau deh bang note, Dea kan satu-satunya nama yang paling sering gw ukir di badan bang note. Dia duduk di tangga-tangga deket rumah kaca, dari jauh hati gw udah dag dig dug duer..serasa banyak burung pipit diatas kepala gw nih bang, terus lambat laun berubah jadi bintang2 kecil warna kuning yang masih muter2 di kepala gw. yah gw doang sih yang ngerasain, gugup, speechless, pokoknya dah ga enak hati, tapi disisi lain gw luar biasa seneng, karena gw bisa liat Dea, liat DEA, bayangin aja sendiri, gw seneng mampus deh… tapi gw kesulitan ngungkapin rasa seneng gw nih, dan akhirnya seperti biasa, hanya diam dan tanpa ekspresi. Pas gw berdua jalan deketin Dea, temen gw ngajak dia jalan sama2 ke tempat kuliah,eh Dea mau, dan akhirnya Kita bertiga jalan bareng ke tempat kuliah TeMak (Teori Makroekonomi), posisi dia berdua jalan di depan, gw dibelakangnya. Perlu tau bang note, hari itu dia pake kerudung warna biru muda dan bajunyapun dengan warna yang sama. Cantik deh… hihi…jarang2 gw ungkapin kata ini, dan yang lebih bikin gw kagum lagi. Ternyata waktu dia duduk ditangga tadi, percaya ga bang note? dia lagi baca Al-Matsurat, sungguh lengkap keindahan yang gw dapet hari itu. Tapi bukan sampe disitu aja, mari dilanjutkan…

Pas kita bertiga sampe di ruangan kuliah, lama juga kita nunggu, gw duduk diluar coz gw ga bisa kalo didalem bareng Dea, gw bisa keliatan banget gugupnya,tau sendiri kan, bisa ada gempa tektonik di dada gw…skali lagi, TEKTONIK, jadi ya diluar aja. Akhirnya muncul satu orang lagi, yang ini gw masih inget namanya. “Wulan” dia mahasiswi jurusan ekonomi, hehe..secara dia suka nagih duit potokopi inilah, itulah...akhirnya tinggalah berempat disana, dan gw tetep diluar aja. Setelah lama-kelamaan ga pernah muncul lagi batang hidung yang namanya manusia alias mahasiswa-mahasiswa yang biasa duduk bareng dengerin khotbahnya pak wayan, itu lho bang note, dosen yang sukanya marah-marah kalo mahasiswanya datang telat. Akhirnya lama kelamaan kitapun berempat baru sadar, bahwa kita adalah korban kesalahan jarkom (Jaringan Komunikasi) alias yang ga kebagian sms informasi kalo hari ini ga ada kuliah Temak. Akhirnya satu persatu dari kami meninggalkan ruangan, oiya, gw baru inget, kalo ga salah temen cewe gw itu namanya Yenni. Yups..pertama dia pulang disusul oleh si Wulan…dan gw masih tetep diluar, dan satu orang lagi di dalem, siapa lagi kalo bukan gadis itu…gadis yang gw suka… disini hal yang ga gw lupain,

Dea keluar sambil bawa tas gw, karena tadi pas datang gw cuma sempet naro tas dan langsung ngeloyor keluar. Dea bawain tas gw dan ngajak pulang, gw cuma bisa nunduk dan jawab..”iya..” udah itu aja, tapi sepertinya Dea ga sadar dengan rasa canggung gw. Tak apa-apa.. Dea ga perlu tau hal itu, yups, Dea bawain tas gw..BAWAIN TAS GW!!! hehe..terus kita pulang dan jalan bareng, tapi gw ga bisa jalan disampingnya, jadi gw berusaha jalan aga cepet di depan, ya..didepan Dea, tapi akhirnya pas deket tangga, satu lagi momen yang paling gw inget, Dea narik tas gw dan bilang, “jalannya jangan cepet2, tungguin…” aarrgghh.. ya ampuuuun sebenernya kalo Dea jalan dengan kecepatan 1 meter/jam pun dengan senang hati bakalan gw tunggu, ampe besok pun tetep gw tunggu, tapi waktu itu gw hanya bisa menundukkan wajah dan bilang,” iya…” just it. Dan kita jalan bareng sampe lewatin taman berdua, BERDUAA!!! Kebayang ga bang note senengnya gw??? Yah, tapi kita berpisah disitu, Cuma sebentar,dan Cuma itu aja, itu aja dan biasa bagi bang note, tapi sangat berarti bwt gw,Cuma buat gw dan bukan bwt Dea… sekali lagi gw ucapin terimakasih atas kesalahan jarkom ini…Thanks…



Minggu, 06 Februari 2011

“I hate to believe for this sweet madness” (maunya jadi tulisan utuh, yah maunya yg mboten-mboten aja)

“Bagaimana aku bisa menerima semua ini, dosa apa yang telah aku lakukan. Aku terpaku menatap sebuah danau, terlihat beberapa pasang muda-mudi sedang memadu kasih di sisi danau, tertawa dan bercanda serasa dunia milik mereka berdua. Dan aku hanya membatu disini.”


Dea menyuruhku untuk langsung pulang, tapi kupikir tidak. Aku harus mengantarkan dea hingga sampai didepan pintu kostnya, sepanjang perjalanan aku hanya terdiam begitupun dengan dea yang asik mengutak atik blackberrynya. Lalu kumulai membuka percakapan, “ko jadi diem begini ya?”, “abisnya lo diem sih” timpalnya. Lalu mulai sedikit mencair obrolan diantara kami hingga tak terasa sudah hampir sampai ke tempat kostnya di jalan antapani bandung.

Aku antar dea hingga masuk pintu gerbang lalu aku mulai membalikkan badan sedikit berharap dea melihatku untuk terakhir kali tapi tidak, ada dua anak kecil yang sedang bermain sepeda di jalanan sempit dekat tempat kost dea, kedua anak kecil itu memakai sepeda yang di samping kiri kanan ban belakangnya menempel roda kecil untuk membantunya agar tidak jatuh, tiba-tiba salah satunya menghampiriku dan berkata, “kak.. namanya siapa? kakak ganteng deh, aku mau jadi pacar kakak” anak itu berkata dengan polosnya, lalu akupun tersenyum, dalam hati aku berkata “kakak berharap kakak yang baru masuk tadi berkata seperti itu juga sama kakak” anak itu tetap mengemut permen kojek dengan asyiknya mungkin tak mengerti dengan apa yang sedang aku pikirkan, lalu dia berkata “kakak suka ya sama kakak yang baru masuk tadi?” tanyanya, "aduh… anak kecil sekarang ko sudah bicara seperti ini ya" pikirku dalam hati, akupun berjongkok untuk mengimbangi tingginya dan bertanya “nama kamu siapa?”, “dea kak…” jawab anak itu dengan spontan, aku sedikit kaget mendengar namanya,lalu aku tersenyum dan mengeluarkan dua buah coklat pemberian dea saat menonton tadi dan kuberikan masing-masing satu sambil kuusap kepalanya, dea kecil sedikit malu-malu menerimanya namun tak berapa lama langsung dia buang permen kojeknya yang tinggal sedikit lagi dan mulai memakan coklat dengan lahapnya sambil asyik kembali bermain sepeda, “terimakasih kakak” ucapnya.

Mencoba mengalihkan pikiran tetapi percuma, semua ingatan memusat pada satu nama, “Dea” entah bagaimana caranya agar aku bisa menghapus nama itu dari kepala. “how can it’s so easier to believe?” celotehku. Semua mimpi mustahil akan terwujud, imajinasi raib bersama semua semangat dan kewarasanku, “I hate to believe for this sweet madness” gumamku. Berjalan menyusuri trotoar dengan tatapan kosong layaknya mumi di mesir sana, mulai menyalakan kembali sebatang rokok yang sempat tertunda saat menelepon Tata, langitpun mulai menampakkan rasa ibanya, dan mengguyur seluruh badanku dengan derasnya, tak ada setetespun air mata yang keluar, mungkin sudah tak ada lagi rasa dalam tubuhku, berjalan dan terus berjalan, tak perduli dengan lelahnya kaki yang memohon untuk sejenak beristirahat,tak perduli dengan derasnya guyuran air hujan menerpaku, aku hanya ingin menunda, ya..menunda sejenak ingatanku tentang dea, hanya dengan terus bergerak aku bisa melupakan sedikit memoriku tentang dea, rokokku kembali padam karena diguyur hujan yang semakin deras, aku berhenti sejenak di depan sebuah toko pakaian, tak ada tujuan apa-apa hanya berhenti sejenak mengabulkan permohonan kakiku.

Aku kembali mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, sedikit mengurangi rasa dingin yang perlahan mulai hinggap, kaki ini tiba-tiba melangkah memasuki toko, beberapa penjaga menatapku dengan wajah heran dan was-was, menelisik dari ujung sepatu hingga ujung rambut yang sedari tadi tak henti-hentinya meneteskan air ke lantai, aku hanya berjalan sambil memuntahkan asap rokok disekelilingnya,dan tak menyentuh satu pakaian pun, datang seorang gadis pegawai toko yang menghampiri “cari apa mas?” tanyanya, aku sejenak terdiam dan memandang lekat wajahnya, dan sekali lagi dia bertanya, “mas cari apa?”sedikit lebih tinggi suaranya namun tetap sopan, aku masih terdiam dan tak tau mau apa, mungkin insting tubuh yang membawaku masuk kedalam toko untuk mengganti baju yang sudah basah kuyup “Tolong pegang rokok saya” pintaku, tentu saja dia menolak “ga ah, nanti saya disangka ngrokok lagi sama orang-orang”.terlihat beberapa pegawai tertawa kecil melihat kami berdua “pegang aja, saya mau pilih baju, nanti pakaiannya bisa bolong-bolong kena rokok, dan saya ga mau rokok saya sampai mati”paksaku. Lalu dia mengambil rokok yang ada di tangan kananku dengan wajah yang sedikit kesal. Tanpa memilih langsung aku ambil sebuah baju yang ada didepanku, “saya mau pake sekarang, disini sekarang juga” kataku, “mas, di ruang ganti aja mas salinnya, jangan disini, aduh..mimpi apa sih saya bisa ketemu mas ini” dia memohon dengan wajah yang sedikit gugup sambil melihat-lihat ke sekitar “aduh mas ini, bikin repot saya aja,ntar kalo diliat orang bagaimana?”pegawai itu terus menerus mencoba melarangku, namun tak sedikitpun kuhiraukan permohonannya, tanpa pikir panjang aku membuka baju yang sudah basah kuyup tadi di depannya dan menggantinya dengan baju yang baru.

Beberapa pegawai toko hanya saling berpandangan melihat kami, lalu aku mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar limapuluh ribuan. “aduh, maap mas, bayarnya dikasir aja tuh disana” dia mengarahkan telunjuknya kesudut ruangan di toko itu, namun tak ku pedulikan “nih saya bayar, ambil kembaliannya” dia nampak kebingungan,aku rebut kembali rokok yang dia pegang,dia masih diam sambil matanya tak beralih dari wajahku tanpa ekspresi“baju saya!” kataku mengagetkannya yang masih bengong, lalu dia mengambil baju yang basah kuyup tadi dan membungkuskannya untukku seraya berucap “i.. iya… mas, i…ini mau saya bung..kus”dengan cepat akupun mendekatinya, dia sedikit kaget lalu selangkah kecil mundur kebelakang, aku dekati lagi hingga jarak tubuh kami hanya sekitar 10 cm bahkan kami bisa mendengar suara napas kami berdua, “hmm..mmas, mas ma..mau apa?” dia berkata tergagap-gagap.semua orang tak memalingkan pandangannya dari kami, aku tatap matanya lekat-lekat dan kami berdua terdiam untuk beberapa detik, dia tampak kebingungan dengan situasi ini namun tidak bereaksi apa-apa, terdengar napasnya mulai tak stabil, entah gugup atau takut aku tak tahu, kubisikkan sesuatu ketelinganya “mau ambil ini…” seraya mengambil bungkusan yang ada ditangan dia dan melangkah meninggalkannya.

Hujan masih belum reda, namun aku dengan santai melangkah keluar toko, kembali menghisap rokok, kembali membasahi baju yang baru aku ganti, kembali menyusuri jalan yang entah aku sendiri tak tahu berada dimana. Sepintas terlihat beberapa pegawai tadi melihatku dengan penuh keheranan dekat pintu toko, mungkin setelah itu namaku akan di blacklist untuk memasuki toko itu, ah tak lagi aku pedulikan. Aku hanya ingin berjalan dan terus berjalan, meski sepatu ini harus rusak, meski telapak kaki ini lecet, aku hanya ingin terus berjalan, hanya cara ini yang sempat terpikir untuk bisa menghilangkan sejenak pikiran terhadap dea.

Tak terasa malam sudah semakin larut, mungkin sudah saatnya aku pulang kembali ke Bogor, meninggalkan semua perasaanku, khayalan dan mimpiku di kota ini. Hujanpun sudah mulai reda, aku melangkahkan kaki menuju terminal leuwi panjang, akhirnya sampai juga dengan berjalan kaki, kebetulan bis yang aku naiki adalah bis terakhir menuju Bogor malam itu, aku memilih duduk dekat jendela, kursi disebelahku masih kosong. tidak perlu menunggu sampai penuh, sopirpun langsung menghidupkan mesin dan perlahan meninggalkan terminal leuwi panjang, mataku menatap keluar jendela, ditengah perjalanan, dalam diam hal yang aku hindaripun muncul, pikiranku mulai meronta-ronta, ingatanku kembali menyeruak dengan hebatnya, diluarpun hujan kembali turun, lebih lebat dari sore tadi, mengguyur jalur bis yang aku lalui dengan derasnya.

Satu persatu ingatanku mulai muncul, terlihat saat dia tertawa dengan kerasnya sewaktu mendengar cerita lucu temanku, aku sedang menatapnya dari kejauhan dan dia tak pernah tau, lalu muncul lagi ingatan saat pertama kali dia menyapa, aku hanya tersenyum dan menundukkan kepala, dia tak pernah tau betapa senangnya aku saat itu, kemudian muncul ingatan saat pertama kali makan bersama seusai mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam, aku selalu mencuri-curi pandang terhadapnya, masih jelas terdengar gemerutuk suara sendok yang menyentuh giginya karena ia makan terlalu lahap, tapi lagi-lagi dia tak sadari itu, teringat saat dia menarik tali tasku dan meminta aku tuk berjalan lebih pelan karena takut tertinggal, lalu aku memperlambat agar bisa mengimbangi dan berjalan disampingnya, betapa senangnya aku namun lagi-lagi dia tak sadari itu, waktu pertama kali dia mencoba menggodaku dan dia berpikir saat itu aku marah karena diam saja dan tak menanggapinya, bukan..itu bukanlah marah,melainkan aku terlalu gugup dan tak tahu bagaimana cara menanggapinya, dan akhirnya hanya diam saja, dan..dan…arrgghh… semua memory itu tumpah layaknya air bah, tak terbendung lagi. Tak tahu dengan cara apa aku bisa hentikan, tiba-tiba ingatanku mengarah tentang kejadian tadi siang, saat kita makan bersama, saat kita nonton film di bioskop, saat dia tertawa melihat adegan lucu beberapa aktornya, dan saat..saat dia berkata bahwa percakapan waktu itu hanya untuk mempersingkat waktu saja karena dia sudah lelah bukan benar-benar menyukaiku..dan..dia berkata bahwa selama ini tak menyimpan perasaan apapun terhadapku. Aaarrgghhh… “How it can happen to me???”

Terdengar samar-samar sebuah lagu, sopir bis memutarkan sebuah lagu sebagai hiburan ditengah perjalanan. Sepertinya aku mengenali lagu ini, sedikit mengalihkan lamunanku, setelah kuingat-ingat,ya ini soundtracknya city of Angels dari Sarah McLachlan yang sering kudengarkan untuk menemani bekerja ketika lembur dikantor, aah..masa bodoh.

Perlahan aku membuka tas, mengambil pena dan sebuah buku, buku yang selalu ku isi dengan tulisan-tulisan tentang semua kejadian aku dengannya, meski hanya saat ia menyapa dan pergi begitu saja, buku itu juga berisi semua sms-sms yang pertama hingga yang terakhir yang dia kirimkan, yang terbaru dia sms kemarin sore dan masih tersimpan di inboxku “aku demam…” tertanggal 10 mei 2010 pkl 20:58 Wib , semuanya terekam dengan begitu jelas.

In the arms of an angel…

Fly away from here…



Terdengar semakin jelas suara yang merdu dan penuh penghayatan dari sarah Mclachlan, sehingga tak salah jika memang lagu itu disukai banyak orang bahkan supir bispun sepertinya menyukai lagu ini karena dia sedikit meninggikan volume ketika sampai pada bagian reff…

Aku kembali menatap buku itu,lalu membuka lembar demi lembar, untunglah masih ada lembaran kosong pikirku meskipun hanya tersisa beberapa lembar saja. Rasanya ingin ku tulis sesuatu di lembaran terakhir buku ini, tak tau apa. Lalu dengan terbata-bata aku bersuara seraya menuntun lenganku untuk menuliskan beberapa kata.

“cin..ta itu.. sam..pah
cin..ta itu.. ko..nyol
cin..ta itu penya..kit
cin..ta itu sa..kit.. ji..wa..”

dan sejenak aku menghela napas panjang, sedikit memberi ruang untuk ku berpikir, lalu aku kembali berlirih

“dan... perla..han
A..ku.. beru..bah menjadi sam..pah
Pribadi.. yang ko..nyol penyakitan.. dan.. gi..la..”

“KARENA..NYA…..”


Tak terasa beberapa tetes air mata jatuh bersamaan dengan tetesan air hujan diluar sana.
“don’t dream, it’s over!!!”

Orang yang tak pernah menderita
karena cinta, sesungguhnya tak pernah
mengenal cinta.

Jika rasa itu tak pernah melukai,
pasti itu bukan cinta.

Cinta membuka yang selama ini tertutup,
menyadarkan yang belum pernah disadari,
mencemerlangkan yang tak terlihat,
dan memuliakan yang tak terhargai.

Cinta melambungkan harapan ke langit.

Tapi, jika ia dikecewakan,

Cinta menyayat hati sampai ke dasarnya.

Mario Teguh

High Heels vs Sandal Jepit Oranye

Hari ini di kantor ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan hari itu juga sehingga aku pulang sedikit terlambat, kurang lebih jam 8 malam aku melangkah pulang meninggalkan kantor menuju stasiun Manggarai, tiba disana aku langsung menuju loket dan membeli karcis untuk kereta ekonomi AC jurusan Bogor. Aku taruh pantatku di tempat duduk yang terbuat dari bantalan rel yang di cat berwarna hijau yang sudah terkelupas, tempat duduk itu terbentang sepanjang tempat tunggu antara jalur lima dan enam di stasiun Manggarai, biasanya kereta kearah Bogor berhenti di jalur enam. Aku menunggu sambil mendengarkan music dari HP, sekedar untuk menghilangkan rasa jenuh,.
Selang beberapa menit, terdengar sebuah pengumuman bahwa akan datang kereta ekonomi balik dari stasiun Jatinegara menuju Manggarai lalu balik kearah Bogor. Pikirku, Jika memang kosong lebih baik aku ikut kereta ini saja karena ekonomi AC masih lama dan pasti tidak dapat kursi pula.

Tidak harus menunggu lama kereta ekonomipun muncul di jalur lima, setelah kuamati, benarlah bahwa kereta itu lumayan lenggang jadi tak disia-siakan lagi, aku langsung masuk dan duduk dikursi bagian tengah dekat kipas angin berharap bisa sedikit menghilangkan keringat yang belakangan baru kutahu bahwa ternyata kipasnya tidak berfungsi alias rusak.

Malam itu keadaan kereta tidak terlalu ramai sehingga ada beberapa kursi yang masih kosong, Disebelahku ada seorang bapak-bapak mungkin usianya sekitar 50 tahunan dan dikiri ada dua orang anak kecil yang sedang asyik bercanda sepertinya memang kakak beradik, satu laki-laki usianya sekitar sepuluh tahunan dan satu lagi perempuan usianya mungkin sekitar tujuh tahunan, keduanya memakai celana SD yang berwarna merah, dan tampangnya sangat lusuh, malam-malam begini kenapa anak-anak seusianya masih bercanda di kereta, apa orang tua mereka tidak mencarinya pikirku, ah ya sudahlah kenapa aku repot-repot memikirkan hal itu, badan dan pikiranku sudah lelah aku ingin buru-buru sampai rumah. Setelah aku menunggu beberapa menit akhirnya keretapun berangkat meninggalkan stasiun Manggarai.

Ditengah perjalanan, aku tertidur sambil memangku tas dengan pulasnya, hingga tak sadar apa yang tengah terjadi di sekitar.

Ketika kereta sampai di Stasiun Lenteng Agung, aku terbangun dengan suara ribut dan makian didepanku. Kereta sudah lumayan penuh, aku melihat seorang Ibu yang menggendong bayi sedang memarahi anak perempuan yang duduk disampingku, hidung anak itu berdarah, “lo kecil-kecil kurang ajar ya ma orang tua!!! Monyet lo!!!” bentak si ibu, namun anak itu tidak kalah seru, dia membalas dengan perkataan yang menurutku tidak pantas diucapkan oleh anak seusianya, “lo maling!!! Anjing lo!!! Beraninya sama anak kecil!” balas anak itu, terlihat kakak lelakinya yang sedari tadi diam ikut membantu adiknya, “lo beraninya ma anak kecil!!! Dasar lo bangsat!!!” timpal kakaknya, ibunya membalas ”lo berdua yang kurang ajar ma orang tua!!! Kecil-kecil kaga sopan lo!!! Anjing!!”, lalu anak perempuan itu kembali ngotot dan membentak si ibu “Apaan lo!!! Dasar lo! Emangnya gw kaga berani sama lo!!!”bentaknya tehadap si ibu dengan nada yang tidak kalah tinggi.

Aku hanya diam melihat kejadian itu, si ibu bersiap mau memukul kedua anak itu namun sianak tetap tidak berhenti memaki, beberapa orang memisahkan mereka bertiga, dan akhirnya penumpang yang lain menyuruh kedua anak itu turun.

Ketika kereta sampai di stasiun Pondok Cina, kedua anak kecil itupun turun, namun tetap saja mereka masih memaki terhadap si ibu dan begitupun si ibu yang di dalam kereta, dia tetap membentak dan membalas memaki. Ketika sampai di Stasiun Depok Baru, si ibu akhirnya turun juga.

Sekarang posisiku sudah tidak duduk lagi karena kursinya kuserahkan kepada seorang ibu yang baru saja naik. Aku masih terkejut dengan kejadian tadi, ada apa sebenarnya. Ada seorang ibu yang memarahi kedua anak kecil, anak perempuan yang hidungnya berdarah, kedua anak yang memaki ibu itu dengan kata-kata yang tidak pantas dan tidak sopan, ada apa sebenarnya batinku bertanya.

Tiba-tiba bapak yang duduk disamping kanan tadi menyadarkan aku dari sebuah lamunan dengan menepuk pundakku, sekarang posisi si bapak ada disamping kiri karena kami sama-sama berdiri menghadap ke arah jendela. “ko melamun dek? Memang sih aneh, biasanya kan suka hujan, tapi malem ini langitnya lumayan cerah” bapak tersebut memulai percakapan dengan awalan yang sedikit sok tahu, memang saya melamun memikirkan hujan apa pikirku, “eh , iya pak, hmm… iya juga ya ko tumben cerah” balasku dengan nada mengiyakan pernyataan si bapak tadi. “oh iya pak, bapak tau kenapa si ibu marah-marah sama dua anak kecil itu? Tadi saya ketiduran pak..hehe..pas bangun eh udah mulai adegannya..hehe..” tanyaku mulai penasaran,”ooh..pantesan, adek ga tau toh, tadi awalnya anak perempuan itu dorong si ibu, terus si ibu itu marah dan menampar si anak kecil sampe berdarah gitu, ya terus adek bisa liat sendirikan lanjutannya?” bapak itu sedikit menjelaskan, tapi aku masih penasaran, “emangnya kenapa pak, itu anak sampe dorong si ibu tadi, kan kasian, bukannya si ibu lagi gendong bayi tuh, pake dimaki-maki gitu lagi” lagi-lagi aku penasaran. Si bapak itu menjawab “sebenernya, anak itu ga salah juga, kalo maki-maki sih mungkin dari pergaulan dia di jalanan, adek inget dia maki-makinya bilang apa?”, “seinget saya sih, hmm..maap ya pak ini aga kasar, dia bilang anjing, bangsat, malinglah apa gitu pokonya ya memang kasar gitulah..hehe..saya lupa lagi..” jawabku, tiba-tiba si bapak tadi menghela napas panjang seakan mau memberikan penjelasan yang cukup berat “hmm.. begini dek, tadi pas adek lagi tidur, si ibu itu diem-diem mo ambil handphonenya adek, bapak liat sendiri ko dengan jelas, termasuk beberapa orang yang ada di depan bapak juga melihat, cuman bapak ga berani kasih tau, karena kemungkinan besar si ibu itu juga ga sendirian alias ada backingnya, ya bapak sih takut” bapak itu menjelaskan, lalu dia sedikit menghela napas kembali, memberi jeda dalam penjelasannya, “nah, anak perempuan tadi itu malah berani dorong si ibu tadi, ya gitu deh awal kejadiannyanya” sambung si bapak, tiba-tiba aku merasa tersentak dengan penjelasannya, bukan main merasa kaget dan bersalahnya aku.

Kereta sudah sampai di stasiun Bogor. “saya duluan ya dek, udah malem kesian keluarga saya nunggu dirumah” bapak tersebut berpamitan, “oh iya pak, makasih banyak pak” balasku. Aku berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil motor yang pagi tadi dititipkan di parkiran Stasiun Bogor. Aku pacu scooterku menembus angin malam dijalanan Bogor, tiba di jalan Surya Kencana kuarahkan ke kiri menuju Batu Tulis dan menuju rumahku di Cigombong dengan jalur alternative Cipaku (arah kaki gunung Salak). Di tengah perjalanan aku tak henti-hentinya memikirkan kejadian tadi, sedang apa sekarang kedua anak kecil itu, sudah makankah? Tidur dimana mereka malam ini? Hmm… batinku bergejolak, dan satu pernyataan terlontar dari pikiranku, “bagaimana cara aku berterimakasih pada kedua anak tadi?”.

Hey girl! ouch...you push my heart!

Sekitar pukul 18.30 WIB kereta ekonomi AC tujuan akhir Stasiun Depok tiba di Manggarai. Aku dan temanku Tony bergegas menaiki kereta tersebut. Meskipun tujuan akhir kami Stasiun Bogor, tapi kami rela untuk transit terlebih dahulu di Stasiun Depok karena selain sedikit lebih lenggang dibanding kereta tujuan Bogor. Kereta ini juga lebih banyak mengandung vitamin A alias bisa cuci mata gratis (laki-laki pasti paham).

Tidak berapa lama kereta mulai meluncur meninggalkan stasiun Manggarai. Aku dan Tony berdiri bersebelahan menghadap kaca jendela, tiba-tiba mata kami berdua tertuju pada satu makhluk dengan ciri fisik warna kulit putih, berkerudung merah jambu, baju warna merah jambu pula memakai manset putih dan bercelana bahan warna hitam, jelas bahwa dia berjenis kelamin wanita. Mungkin masih mahasiswi karena kulihat dia memegang sebuah buku yang kuamati berjudul Teori Mikroekonomi karya Walter Nicholson. kalau tidak salah dulu buku itu pernah jadi acuan bahan kuliah Mikroekonomi sewaktu aku semester empat.

Perempuan berkerudung merah jambu itu sempat melihat kearahku dan tersenyum, hatiku dag dig dug tak keruan, aku langsung membalas senyumannya dengan senyuman mautku, lama sekali aku tersenyum kearahnya hingga gadis itu pun memalingkan wajahnya,mungkin berasa akan muntah tapi entahlah hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu. Setelah itu aku hadapkan wajahku kearah jendela. Lho… itu siapa yang pake masker pikirku saat aku melihat pantulan bayangan dari kaca jendela kereta, oh my god aku lupa, ternyata aku masih mengenakan masker, berarti dari tadi sia-sia saja aku keluarkan senyuman mautku.

“Ton, cewek itu senyum ke gw” kataku pada Tony, “orang dia liat gw ko, berarti dia itu senyumnya ke gw” sergah Tony tidak mau kalah. Ya sudahlah,lagi-lagi Cuma Tuhan dan gadis itu sendiri yang mengetahui kepada siapa dia tersenyum.

Kereta sudah mulai penuh, sekarang gadis tadi tepat berada di belakang kami, posisi kami saling memunggungi karena sama-sama menghadap kearah jendela. Aku dan Tony terkadang mencuri-curi pandang atau sejenak menatap dia dari pantulan kaca jendela kereta. “kenalan yuk…” ajak Tony, “hmm…okelah bray..” jawabku, kereta berhenti di stasiun Universitas Pancasila, posisi kami masih saling membelakangi, sejenak kulihat dari pantulan kaca jendela untuk memastikan keberadaan si gadis tadi, “lho Ton, kemana cewek tadi?” tanyaku,”wah jangan-jangan udah turun” jawab Tony, mata kami masih menyelidik melihat dari pantulan kaca jendela di depan. Akhirnya aku langsung balikkan badanku dan bergegas menuju pintu kereta di sebelah kiri, mataku menyisir setiap sudut stasiun dari arah depan maupun belakang kereta tapi tetap tak menemukan gadis tadi. Lalu aku balikkan wajahku kepada Tony “Ton, kemana cewek pink tadi? Aah gagal deh mo kenalan sama cewek cakep” kataku sedikit berteriak, Tony hanya diam saat menoleh kearahku namun kulihat wajahnya seperti kaget dan termangu lalu terlihat seperti menahan sesuatu, yah, dia menahan untuk tertawa. “harusnya kita ga kelamaan mikirnya, aah lo Ton” celotehku lagi, tapi saat itu Tony malah membalikkan wajahnya dan dia tertawa terbahak-bahak sampai beberapa orang melihatnya. Ada apa dengan si Tony ini batinku penasaran.

“Ehem..” tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berdehem, posisiku masih berdiri di depan pintu kereta, dan mataku tetap mencari menelisik penumpang di luar kereta, “sial nih, pergi kemana ya cewek tadi?” gumamku, “ehem..” suara itu terdengar lagi, namun kali ini dibarengi suara cekikikan, suara tersebut berasal dari kursi yang tepat berada disampingku, lalu aku alihkan sejenak pandanganku kearah suara tadi, dia berkurudung merah jambu, sepertinya dia sedang tertawa namun wajahnya sedang tertunduk dan ditutupi oleh buku, ya buku itu sepertinya pernah kulihat, kucondongkan sedikit badanku kearahnya sambil aku mengerutkan dahi, kulihat lagi dengan seksama, kuperhatikan lekat-lekat buku itu, sambil terbata-bata aku membacanya,

“Wal..ter… Nichol..son..”